Beberapa Jenis Jenis Komoditi Perkebunan di PT. Lautan Alam Indonesia Seperti,
Some Types of Plantation Commodities in PT. Lautan Alam Indonesia Such as,
KATALOG KOMODITI PERKEBUNAN
PLANTATION COMMODITY CATALOG
Minyak Sawit Mentah
Crude Palm Oil (CPO)
Pelet Kayu
Wood Pellet
Karet
Onion
Kakao
Cacao
Pohon Pinus
Pine Tree
SEPUTAR INFORMASI KOMODITI PERKEBUNAN
ABOUT PLANTATION COMMODITY INFORMATION
Industri Kelapa Sawit di Indonesia dibangun dengan Pendekatan yang Memprioritaskan keseimbangan antara Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan. Hal ini Sejalan dengan Komitmen Pemerintah Indonesia dalam Melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan, yang Telah diatur Secara Khusus dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Produksi Minyak Sawit dan Inti Sawit pada tahun 2018 tercatat sebesar 48,68 juta ton, yang terdiri dari 40,57 juta ton crude palm oil (CPO) dan 8,11 juta ton palm kernel oil (PKO). Jumlah produksi tersebut berasal dari Perkebunan Rakyat sebesar 16,8 juta ton (35%), Perkebunan Besar Negara sebesar 2,49 juta ton (5%,) dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 29,39 juta ton (60%).
The Palm Oil industry in Indonesia is built with an approach that prioritizes the balance between social, economic and environmental aspects. This is in line with the Indonesian Government's Commitment to Implement Sustainable Development, which has been specifically stipulated in the 2020-2024 National Medium-Term Development Plan (RPJMN). Palm Oil and Palm Kernel Production in 2018 was recorded at 48.68 million tons, consisting of 40.57 million tons of crude palm oil (CPO) and 8.11 million tons of palm kernel oil (PKO). The total production came from People's Plantations of 16.8 million tons (35%), Large State Plantations of 2.49 million tons (5%,) and Large Private Plantations of 29.39 million tons (60%).
Crude Palm Oil (CPO) adalah Minyak Mentah Kelapa Sawit yang dihasilkan dalam Proses Awal Ekstraksi bagian Mesocarp (sabut) pada Buah Sawit. Buah sawit ini kaya akan Vitamin E dan Karoten, sehingga Menghasilkan Minyak berwarna Merah/Jingga, dan oleh karena itu juga sering disebut dengan “Red Palm Oil.” Komposisi Asam Lemak yang dihasilkan Seimbang dengan Kandungan 50% jenuh dan 50% tidak jenuh, karenanya CPO lebih diperuntukkan untuk menghasilkan produk turunan yang dapat dikonsumsi seperti Minyak Goreng, Margarin dan Coklat.
Crude Palm Oil (CPO) is Palm Crude Oil produced in the initial process of extracting the mesocarp part of the palm fruit. This palm fruit is rich in Vitamin E and Carotene, resulting in a Red/Orange colored Oil, and is therefore also often referred to as "Red Palm Oil." The composition of the fatty acids produced is balanced with 50% saturated and 50% unsaturated, hence CPO is more intended to produce consumable derivative products such as Cooking Oil, Margarine and Chocolate.
Minyak Sawit Mentah berbeda dengan Palm Kernel Oil atau Minyak Inti Kelapa Sawit, meskipun keduanya berasal dari Buah Kelapa Sawit yang Sama. Selain itu, Minyak Sawit Mentah juga berbeda dengan Minyak Kelapa yang dihasilkan dari Inti Buah Kelapa. Salah satu Perbedaan Utama Minyak Sawit Mentah dengan Jenis Minyak Nabati Lainnya adalah Tingginya Kandungan Beta Karoten di Dalamnya, yang memberikan Warna Kemerahan pada Minyak Tersebut. Beta karoten merupakan Senyawa Awalan dari vitamin A dan juga Memiliki Pigmen dengan Warna Dominan Merah atau Jingga pada Buah ataupun Sayuran. Selain itu, Minyak Sawit Mentah juga memiliki Kandungan Lemak Jenuh sekitar 41%, sedangkan Minyak Inti Kelapa Sekitar 81%, dan Minyak Kelapa sekitar 86%.
Crude Palm Oil is different from Palm Kernel Oil or Palm Kernel Oil, although both are derived from the same Palm Fruit. In addition, Crude Palm Oil is also different from Coconut Oil which is produced from the Coconut Kernel. One of the main differences between Crude Palm Oil and other types of vegetable oils is the high content of Beta Carotene in it, which gives the oil its reddish color. Beta carotene is the prefix compound of vitamin A and is also a pigment with a predominantly red or orange color in fruits or vegetables. In addition, Crude Palm Oil also has a Saturated Fat Content of about 41%, while Coconut Kernel Oil is about 81%, and Coconut Oil is about 86%.
Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) terdiri dari berbagai Komponen Penyusun, yaitu Komposisi Lemak, Kandungan Senyawa, dan Sifat Kimia serta Fisika. Perlu diingat bahwa Sifat Kimia dan Fisika dari Minyak Kelapa Sawit dapat Berubah Tergantung pada Tingkat Kemurnian dan Mutu Minyak tersebut. Secara Umum, Sifat Kimia dan Fisika dari Minyak Kelapa Sawit memiliki Kaitan dengan Warna, Rasa, Bau, Kelarutan, Titik Nyala, Titik Api, Titik Didih, Polymorphism, serta Titik Cair. Selain itu, terdapat Bilangan Penyabunan dan Bilangan Lod yang Juga perlu diperhatikan.
Crude Palm Oil (CPO) consists of various constituent components, namely fat composition, compound content, and chemical and physical properties. Keep in mind that the Chemical and Physical Properties of Palm Oil may change depending on the Purity Level and Quality of the Oil. In general, the Chemical and Physical Properties of Palm Oil are related to Color, Taste, Odor, Solubility, Flash Point, Flash Point, Boiling Point, Polymorphism, and Liquid Point. In addition, there are Saponification Numbers and Lod Numbers that also need to be considered.
Daftar Kandungan Senyawa Umum pada Minyak Sawit Mentah / CPO adalah Sebagai Berikut:
The list of common compounds in Crude Palm Oil / CPO is as follows:
Selain itu, Komposisi Asam Lemak pada Minyak Sawit Mentah / CPO, antara lain:
In addition, the Fatty Acid Composition of Crude Palm Oil / CPO, among others:
Banyak Penelitian terkait Inovasi atau Manfaat yang dapat Dihasilkan dari Pengolahan Minyak kelapa sawit mentah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan Nilai dari Minyak Sawit Mentah serta Mempertahankan Keberadaan Industri Kelapa Sawit yang ada saat ini, salah satunya sebagai Industri Bahan Baku Pembuatan Minyak Goreng. Berikut Proses Pengolahan CPO menjadi Minyak Goreng
There is a lot of research related to innovation or benefits that can be generated from processing crude palm oil. The goal is to increase the value of Crude Palm Oil and maintain the existence of the existing Palm Oil Industry, one of which is as a Raw Material Industry for Making Cooking Oil. The following is the process of processing CPO into cooking oil
Secara Umum, Minyak Goreng dibagi menjadi Tiga Macam, yakni Minyak Goreng Curah, Minyak Goreng Kemasan Sederhana, dan Minyak Goreng Kemasan Premium, Berikut Perbedaannya:
1.) Minyak Goreng Curah
Minyak Goreng Curah adalah Produk Langsung dari RBD Palm Olein sehingga tidak Melalui Proses Penyaringan Terlebih Dahulu. Untuk membeli minyak goreng curah bisa melalui warung dan pasar tradisional. Kemasannyapun juga sederhana, umumnya dikemas menggunakan plastik biasa tanpa label atau tidak bermerk. Kemasan curah bisa dibeli sesuai dengan kebutuhan, misalnya diwarung-warung atau pengecer menjual mulai dari literan dan ada juga yang menjual per ons. Minyak Goreng Curah memiliki Kualitas Ketahanan Minyak atau Cloud Point (CP) Tinggi yaitu di Level 12. Semakin Rendah CP sebuah Minyak Goreng, maka Daya Tahannya Semakin Baik sehingga Tidak Berkabut saat dilektakkan dalam suhu rendah.
Bulk Cooking Oil is a direct product of RBD Palm Olein so it does not go through the filtering process first. To buy bulk cooking oil, you can go to stalls and traditional markets. The packaging is also simple, generally packaged using ordinary plastic without labels or unbranded. Bulk packaging can be purchased according to your needs, for example in stalls or retailers sell starting from liters and some sell per ounce. Bulk Cooking Oil has a High Quality of Oil Resistance or Cloud Point (CP) which is at Level 12. The lower the CP of a Cooking Oil, the better its durability so that it does not fog up when diluted in low temperatures.
2.) Minyak Goreng Kemasan Sederhana
Minyak Goreng Kemasan Sederhana telah Melalui Satu Kali Proses Penyaringan RBD Palm Olein dan biasanya dikemas dalam Ukuran Kecil. Level CP Minyak Goreng Kemasan Sederhana adalah 10, lebih rendah dari Minyak Goreng Curah. Salah satu contoh Minyak Goreng Kemasan Sederhana adalah Minyak Goreng MINYAKITA, yang dipasarkan oleh Pemerintah dengan HET Rp. 14.000,- per Liter.
Simple Packaged Cooking Oil has gone through a one-time RBD Palm Olein screening process and is usually packaged in small sizes. The CP level of Simple Packaged Cooking Oil is 10, which is lower than Bulk Cooking Oil. One example of Simple Packaged Cooking Oil is MINYAKITA Cooking Oil, which is marketed by the Government with a price ceiling of IDR 14,000 per liter.
3.) Minyak Goreng Kemasan Premium
Minyak Goreng Kemasan Premium ini telah Mengalami Penyaringan lebih dari Satu Kali sehingga warnanya Seringkali Lebih Jernih. Minyak Goreng Kemasan Premium juga Biasanya telah ditambahkan Vitamin A sebelum Dikemas. Dengan demikian, minyak goreng kemasan premium memiliki CP yang lebih rendah, Bersih, dan Sehat Dikonsumsi dibandingkan Minyak Goreng jenis lainnya.
Premium Packaged Cooking Oil has been filtered more than once so the color is often clearer. Premium Packaged Cooking Oil also usually has Vitamin A added before packaging. Thus, premium packaged cooking oil has a lower CP, is cleaner, and is healthier to consume than other types of cooking oil.
Wood Pellet dihasilkan dari Kayu Keras seperti Kayu Kaliandra atau Limbah Kayu yang Kemudian Diolah Menjadi Serbuk dengan ukuran panjang 1 sampai 3 cm serta diameter sekitar 6 sampai 10 mm. Setiap butir serbuk Wood Pellet berbentuk silinder yang padat. Kepadatannya berkisar 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton.
Wood Pellets are produced from Hardwood such as Kaliandra Wood or Wood Waste which is then Processed into Powder with a length of 1 to 3 cm and a diameter of about 6 to 10 mm. Each grain of Wood Pellet powder is a solid cylinder. The density is around 650 kg/m3 or 1.5 m3/ton.
Wood Pellet atau Pelet Kayu Merupakan Salah Satu Jenis Bahan Bakar Alternatif Terbarukan yang Lebih Ramah Lingkungan (Bioenergy). Wood Pellet atau Pelet Kayu ini Memiliki Banyak Sekali Manfaat dan Berbagai Fungsi. Wood pellet dapat Digunakan Untuk Memenuhi Berbagai Macam Kebutuhan, Baik Kebutuhan Rumah Tangga maupun Kebutuhan Industri dan Perusahaan. Untuk Kebutuhan Rumah Tangga, Wood Pellet sering kali dimanfaatkan sebagai Bahan Bakar Penghangat Ruangan. Penghangat Ruangan sangat diperlukan bagi Negara-Negara yang mengalami Musim Dingin seperti Korea, Jepang, Tiongkok, dan berbagai negara di Benua Eropa.
Wood Pellets are one type of renewable alternative fuel that is more environmentally friendly (Bioenergy). Wood Pellets or Wood Pellets have many benefits and various functions. Wood pellets can be used to fulfill various needs, both household needs and industrial and company needs. For Household Needs, Wood Pellets are often used as Heating Fuel. Heating is very necessary for countries that experience winter such as Korea, Japan, China, and various countries in Europe.
Adapun Salah Satu Spesifikasi Wood Pellet yang sesuai dengan PT. LAI
One of the Wood Pellet Specifications that are in accordance with PT. LAI
Wood Pellet ENPlus-A2
Diameter : 6 or 8 mm
Length : 3.15 - 40 mm
Bulk Density : >600 kg/m3
Net Calorific Value : 16.5 - 19 Mj/kg
Moisture : <10 %
Durability : >97.5 %
Ash : <1.5 %
Ash Melting Temperature : >1100 °C
Material
Whole trees with out roots
Stem wood
Logging Residues
Chemically Untreated Wood Residues
Berikut Ini Beberapa Foto Wood Pellet Hasil Kunjungan/Kerjasama antar PT. Lautan Alam Indonesia
Here are some photos of wood pellets from the visit / cooperation between PT. Lautan Alam Indonesia
Karet adalah Polimer Hidrokarbon yang terkandung pada lateks beberapa jenis tumbuhan. Karet adalah Polimer dari Satuan Isoprena (politerpena) yang Tersusun dari 5000 hingga 10.000 Satuan dalam Rantai tanpa Cabang. Diduga Kuat, Tiga Ikatan Pertama bersifat Trans dan Selanjutnya Cis. Senyawa ini Terkandung pada Lateks Pohon Penghasilnya. Pada Suhu Normal, Karet tidak Berbentuk (Amorf). Pada Suhu Rendah ia Akan Mengkristal. Dengan Meningkatnya Suhu, Karet akan Mengembang, Searah dengan sumbu panjangnya. Penurunan Suhu akan Mengembalikan Keadaan Mengembang ini. Inilah alasan mengapa Karet bersifat Elastik.
Rubber is a hydrocarbon polymer contained in the latex of several plant species. Rubber is a polymer of isoprene (polyterpene) units composed of 5000 to 10,000 units in a branchless chain. It is strongly suspected that the first three bonds are trans and the next cis. This compound is contained in the latex of the tree that produces it. At normal temperatures, rubber is amorphous. At low temperatures it crystallizes. With increasing temperature, rubber will expand, in the direction of its long axis. A decrease in temperature will restore this expanded state. This is the reason why rubber is elastic.
Kebanyakan Karet komersial berasal dari Getah Pohon Para Karet (Para Rubber Tree) atau Hevea Brasiliensis. Hevea Brasiliensis berasal dari Brazilia, Amerika Selatan, Mulai Dibudidayakan di Sumatera Utara pada Tahun 1903 dan di Jawa pada tahun 1906. Tanaman ini berasal dari Sedikit Semai yang dikirimkan dari Inggris ke Bogor pada tahun 1876, sedangkan semai-semai tersebut berasal dari biji karet yang dikumpulkan oleh H. A. Wickman, kewarganegaraan Inggris, dari wilayah antara Sungai Tapajoz dan Sungai Medeira di tengah Lembah Amazon. Tanaman karet merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh sampai umur 30 tahun. Habitus Tanaman ini merupakan pohon dengan tinggi Tanaman dapat mencapai 15 – 20 meter. Tanaman Karet memiliki Sifat Gugur Daun sebagai respon tanaman terhadap kondisi Lingkungan yang Kurang Menguntungkan (Kekurangan Air/Kemarau). Tanaman Karet juga memiliki sistem perakaran yang ekstensif/menyebar cukup luas sehingga tanaman karet dapat tumbuh pada kondisi lahan yang kurang menguntungkan. Tanaman Karet memiliki masa belum menghasilkan selama lima tahun (masa TBM 5 tahun) dan sudah mulai dapat disadap pada awal tahun ke Enam. Secara Ekonomis tanaman karet dapat disadap selama 15 sampai 20 tahun.
Most commercial rubber comes from the sap of the Para Rubber Tree or Hevea Brasiliensis. Hevea Brasiliensis is native to Brazilia, South America, and began to be cultivated in North Sumatra in 1903 and in Java in 1906. The plant originated from a few seedlings sent from England to Bogor in 1876, while the seedlings came from rubber seeds collected by H. A. Wickman, a British national, from the region between the Tapajoz and Medeira Rivers in the middle of the Amazon Basin. The rubber plant is an annual plant that can grow up to 30 years old. The habitus of this plant is a tree with a plant height that can reach 15-20 meters. Rubber plants have the nature of leaf fall as a plant response to unfavorable environmental conditions (lack of water / drought). Rubber plants also have an extensive root system / spread quite widely so that rubber plants can grow in unfavorable land conditions. Rubber plants have an immature period of five years (TBM period of 5 years) and can be tapped at the beginning of the sixth year. Economically, rubber plants can be tapped for 15 to 20 years.
Di Jawa Barat sendiri, menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat tahun 2018, Produksi Karet oleh Perkebunan Rakyat sebanyak 4.734 ton dengan Luas Area 16.055 Hektar. Produksi Karet oleh Perkebunan Besar Swasta adalah 14.388 Ton dengan Luas Area 21.526 Hektar. Untuk Produksi Karet oleh Perkebunan Besar Negara adalah sebesar 17.345 Ton dengan Luas Area 24.834 Hektar. Dibandingkan dengan Negara-Negara Kompetitor Penghasil Karet lain, Indonesia memiliki level Produktivitas per Hektar yang Rendah. Hal ini ikut disebabkan oleh fakta bahwa Usia Pohon-Pohon Karet di Indonesia umumnya Sudah Tua dikombinasikan dengan Kemampuan Investasi yang Rendah dari Para Petani Kecil, sehingga mengurangi Hasil Panen. Sementara Thailand memproduksi 1.800 kg/ha dalam Setahun, Indonesia hanya Berhasil memproduksi 1.800 kg/ha. Baik Vietnam 1.720 kg/ha maupun Malaysia 1.510 kg/ha memiliki produktivitas Karet yang Lebih Tinggi.
In West Java itself, according to data from the Central Bureau of Statistics of West Java Province in 2018, Rubber Production by Smallholder Plantations was 4,734 tons with an Area of 16,055 Hectares. Rubber Production by Large Private Plantations is 14,388 Tons with an Area of 21,526 Hectares. For Rubber Production by Large State Plantations is 17,345 Tons with an Area of 24,834 Hectares. Compared to other Rubber Producing Competitor Countries, Indonesia has a low level of Productivity per Hectare. This is partly due to the fact that the Age of Rubber Trees in Indonesia is generally Old combined with the Low Investment Capability of Smallholders, thus reducing the Yield. While Thailand produces 1,800 kg/ha in a Year, Indonesia only manages to produce 1,800 kg/ha. Both Vietnam 1,720 kg/ha and Malaysia 1,510 kg/ha have higher Rubber productivity.
Produk Utama dari Tanaman Karet yaitu Karet Alam. Kualitas Karet Alam diatur oleh Badan Standar Nasional (BSN) melalui Standard Indonesian Rubber (SIR) pada Tahun 1999. Standard Indonesia Rubber adalah Karet Alam yang diperoleh dengan Pengolahan Bahan oleh Karet yang berasal dari Getah Batang Pohon Hevea Brasiliensis secara mekanis dengan atau Tanpa Kimia, serta mutunya ditentukan secara spesifikasi teknis. SIR digolongkan dalam 9 Jenis mutu yaitu :
The main product of the rubber plant is natural rubber. The quality of Natural Rubber is regulated by the National Standards Agency (BSN) through Standard Indonesian Rubber (SIR) in 1999. Standard Indonesian Rubber is Natural Rubber obtained by processing materials by rubber derived from the sap of the Hevea Brasiliensis tree trunk mechanically with or without chemicals, and its quality is determined by technical specifications. SIR is classified into 9 types of quality, namely:
SIR 3 CV (Constant Viscosity)
SIR 3 L (Light)
SIR 3 WF (Whole Field)
SIR LoV (Low Viscosity)
SIR 5
SIR 10
SIR 10 CV/VK (Constant Viscosity)
SIR 20
SIR 20 CV/VK
Perbedaanya adalah pada Tingkat Kadar Kotoran, dan pada Bahan Olahan yang dipakai. SIR 3 CV, SIR 3 L dan SIR 3 WF berasal dari Lateks Sabun. SIR 5 berasal dari Karet Lembaran dan atau Koagulum Segar. SIR 10, SIR 10 CV/VK, SIR 20, SIR 20 CV/VK dibuat dari Koagulum Lapangan.
The difference is in the level of impurities, and in the processed materials used. SIR 3 CV, SIR 3 L and SIR 3 WF are derived from Soap Latex. SIR 5 is derived from Sheet Rubber and or Fresh Coagulum. SIR 10, SIR 10 CV/VK, SIR 20, SIR 20 CV/VK are made from Field Coagulum.
Kakao dikenal dengan nama ilmiahnya, "Theobroma Cacao" yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya "makanan para dewa". Kakao merupakan tanaman asli Amerika Tengah dan Selatan, terutama dari hutan Amazon di Amerika Selatan. Suku-suku pribumi seperti Maya dan Aztec telah mengolah kakao selama ribuan tahun. Pada abad ke-17, Belanda salah satu negara Eropa yang aktif dalam perdagangan internasional membawa biji kakao ke wilayah yang saat ini dikenal sebagai Indonesia, yang pada saat itu adalah jajahan Belanda.
Cacao is known by its scientific name, "Theobroma cacao", which comes from the Greek word meaning "food of the gods. Cacao is native to Central and South America, particularly the Amazon forest in South America. Indigenous tribes such as the Maya and Aztecs have cultivated cacao for thousands of years. In the 17th century, the Dutch, one of the European countries active in international trade, brought cacao beans to what is now Indonesia, then a Dutch colony.
Pada awal abad ke-17, Biji Kakao ditanam di Pulau Jawa, salah satu pulau utama di Indonesia. Pada abad ke-19, pertumbuhan industri kakao di Indonesia semakin berkembang, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, kakao Indonesia menjadi komoditas ekspor yang penting. Produksi dan ekspor kakao dari Indonesia terus meningkat seiring dengan permintaan global.
As early as the 17th century, Cacao Beans were grown on Java Island, one of the main islands in Indonesia. In the 19th century, the cacao industry in Indonesia grew, especially in Java and Sumatra. After Indonesia's independence in 1945, Indonesian cacao became an important export commodity. Cacao production and exports from Indonesia continue to increase in line with global demand.
Indonesia memiliki berbagai varietas kakao yang tumbuh di berbagai wilayah di seluruh kepulauan. Setiap varietas memiliki karakteristik rasa yang berbeda, mempengaruhi citarasa dan aroma produk cokelat yang dihasilkan. Berikut ini beberapa varietas kakao yang dikenal di Indonesia:
Indonesia has a wide range of cacao varieties that grow in different regions throughout the archipelago. Each variety has different flavor characteristics, affecting the taste and aroma of the resulting chocolate products. Here are some of the cacao varieties known in Indonesia:
Kakao Sumatera
Sumatera adalah salah satu pulau utama di Indonesia yang menghasilkan berbagai varietas kakao. Kakao Sumatera dikenal dengan citarasa kuat dan aroma cokelat yang kompleks. Beberapa varietas yang terkenal di Sumatera adalah Jembrana, Deli, dan Lampung.
Sumatra is one of the main islands in Indonesia that produces various varieties of cacao. Sumatran cacao is known for its strong flavor and complex chocolate aroma. Some of the famous varieties in Sumatra are Jembrana, Deli, and Lampung.
Kakao Sulawesi
Sulawesi adalah pulau lain yang menghasilkan kakao berkualitas tinggi. Kakao Sulawesi sering kali memiliki rasa asam yang kuat dan citarasa buah. Varian yang terkenal termasuk Kakao Toraja dan Kakao Mamasa.
Sulawesi is another island that produces high quality cacao. Sulawesi cacao often has a strong acidity and fruity flavor. Well-known varieties include Toraja cacao and Mamasa cacao.
Kakao Bali
Pulau Bali juga memiliki kakao yang unik dengan karakteristik rasa yang khas. Kakao Bali sering kali memiliki rasa buah yang manis dan sedikit pahit. Varian yang terkenal adalah Kakao Bali.
The island of Bali also has unique cacao with distinctive flavor characteristics. Balinese cacao often has a sweet and slightly bitter fruity flavor. A well-known variant is Bali cacao.
Kakao Papua
Di wilayah Papua, terutama di Papua Barat, terdapat varietas kakao yang tumbuh di hutan hujan. Kakao Papua sering dikenal dengan citarasa alami yang tajam dan rasa asam yang kuat.
In the Papua region, especially in West Papua, there are varieties of cacao that grow in the rainforest. Papuan cacao is well known for its sharp natural flavors and strong acidity.
Kakao Kalimantan
Pulau Kalimantan juga memiliki produksi kakao yang semakin berkembang. Varian yang dikenal di Kalimantan adalah Kakao Pontianak.
The island of Kalimantan also has a growing cacao production. The variant known in Kalimantan is Pontianak Cacao.
Pengolahan Biji Kakao melibatkan serangkaian tahapan yang melibatkan Fermentasi, Pengeringan, Pemanggangan, Pemecahan, dan Penggilingan untuk menghasilkan produk cokelat yang siap digunakan dalam berbagai produk makanan. Biasanya biji kakao dipanen dari pohon kakao saat sudah matang. buah kakao dibelah dan bijinya diambil. Biji Kakao yang baru dipanen memiliki rasa pahit yang kuat, untuk menghilangkan rasa pahit dan mengembangkan citarasa cokelat yang khas biji kakao akan ditempatkan dalam kotak fermentasi selama beberapa hari. Setelah fermentasi selesai, biji kakao harus dicuci dan dibersihkan untuk menghilangkan sisa-sisa kulit buah dan lendir. Biji kakao yang sudah bersih akan dikeringkan di bawah sinar matahari atau dengan menggunakan mesin pengering. Tujuannya untuk mengurangi Kadar air biji agar bisa disimpan lebih lama tanpa pembusukan.
Cacao bean processing involves a series of steps including fermentation, drying, roasting, crushing, and grinding to produce chocolate products that can be used in a variety of foods. Typically, cacao beans are harvested from the cacao tree when it is ripe, the cacao fruit is split and the seeds are removed. Freshly harvested cacao beans have a strong bitter taste, so to remove the bitterness and develop a distinctive chocolate flavor, the beans are placed in a fermentation box for several days. Once fermentation is complete, the beans must be washed and cleaned to remove any remaining pods and mucilage. The clean cacao beans are dried in the sun or in a drying machine. The goal is to reduce the moisture content of the beans so that they can be stored longer without spoiling.
Biji Kakao yang sudah kering, kemudian dipanggang. Pemanggangan dapat berlangsung selama beberapa jam dan memiliki pengaruh besar pada rasa biji kakao. Proses pemanggangan menghilangkan sisa-sisa kelembapan, mengubah senyawa kimia, dan memberikan rasa cokelat yang dikenal. Setelah dipanggang, biji kakao pecah menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil. Ini melibatkan pemecahan cangkang keras biji dan pemisahan biji dari kulit luarnya. Pecahan biji kakao kemudian digiling menjadi pasta cokelat yang disebut "massa cokelat" atau "massa kakao". Proses penggilingan ini menghasilkan tekstur yang mulus dan cokelat dengan rasa yang lebih khas. Massa cokelat kemudian dapat dicetak menjadi bentuk yang diinginkan, seperti cokelat batangan, cokelat bubuk, atau produk cokelat lainnya.
The dried cacao beans are then roasted. Roasting can take several hours and has a major impact on the flavor of the cacao beans. The roasting process removes residual moisture, changes chemical compounds, and gives chocolate its familiar flavor. After roasting, the cocoa beans are broken into smaller pieces. The hard shell of the bean is broken and the bean is separated from its outer shell. The broken cacao beans are then ground into a chocolate paste called "chocolate mass" or "cacao mass". This grinding process results in a smoother texture and a chocolate with a more pronounced flavor. The chocolate mass can then be formed into desired shapes, such as chocolate bars, chocolate powder, or other chocolate products.
Pohon Pinus merupakan jenis pohon konifer yang sering ditemukan di berbagai belahan dunia, terutama di daerah beriklim sedang hingga dingin. Pohon ini memiliki ciri khas daun berbentuk jarum, memberikan kesan tajam dan ramping pada cabangnya. Secara morfologis, pohon pinus memiliki batang tunggal yang lurus dan tegak, dengan kulit batang yang keras dan tebal yang membentuk lapisan perlindungan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim.
Pine trees are a type of coniferous tree commonly found in various parts of the world, especially in temperate to cold climates. This tree is characterized by needle-shaped leaves that give a sharp and slender impression on its branches. Morphologically, pine trees have a single trunk that is straight and upright, with hard and thick bark that forms a layer of protection against extreme environmental conditions.
Pohon Pinus menghasilkan buah yang dikenal sebagai cemara atau kumpulan biji yang dilindungi oleh cangkang keras. Biji Pinus seringkali dihasilkan dalam jumlah besar dan memiliki sayap tipis yang membantu dalam penyebaran angin. Proses penyebaran biji ini memainkan peran penting dalam regenerasi hutan dan pembentukan hutan yang beragam. Selain nilai ekologisnya, pinus juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi, salah satu produk yang dihasilkannya adalah Gumrosin dan Minyak Terpentin
The Pine tree produces a fruit known as a cone, or a cluster of seeds protected by a hard shell. Pine seeds are often produced in large quantities and have thin wings that aid in wind dispersal. The process of seed dispersal plays a crucial role in forest regeneration and the formation of diverse forests. In addition to its ecological value, pine also holds high economic significance, with one of its products being Gumrosin and Turpentine Oil.
Dihasilkan dari Getah Pohon Pinus.
Made from the sap of pine trees.
Dihasilkan dari "Penyulingan" Getah Pohon Pinus
Made from the "Distillation" of pine sap
Gumrosin merupakan substansi lengket dan kental yang dihasilkan dari pohon pinus. Proses pengumpulan gumrosin melibatkan sayatan pada kulit pohon, memungkinkan getah atau resin untuk mengalir keluar dan kemudian dikumpulkan untuk diolah lebih lanjut. Secara kimia, Gumrosin mengandung berbagai senyawa, termasuk terpen, terpintol, asam-asam resin, dan zat-zat kimia lain yang bersifat kompleks. Bentuk dari Gumrosin dapat berupa padat atau setengah padat, tergantung pada jenis dan sifat kimianya. Keberagaman jenis Gumrosin mencerminkan perbedaan spesies pohon dan kondisi pertumbuhan yan berbeda.
Gumrosin is a sticky and thick substance produced from pine trees. The process of collecting gumrosin involves making cuts on the tree bark, allowing the sap or resin to flow out and then collecting it for further processing. Chemically, gumrosin contains various compounds, including terpenes, terpinol, resin acids, and other complex chemicals. The form of gumrosin can be solid or semi-solid, depending on its type and chemical properties. The diversity of gumrosin types reflects the differences in tree species and varying growth conditions.
Gumrosin memiliki berbagai aplikasi industri yang penting. Salah satu penggunaan utamanya adalah sebagai bahan baku untuk menghasilkan Minyak Terpentin melalui proses destilasi. Selain itu, gumrosin digunakan dalam produksi cat, perekat, tinta cetak, dan berbagai produk kimia lainnya. Karena sifatnya yang lengket dan tahan air, gumrosin juga diterapkan dalam berbagai formulasi pelapis dan perlapisan. Selain penggunaan industri, gumrosin juga memiliki aplikasi dalam bidang farmasi dan kosmetik, dimana sifat-sifatnya dapat dimanfaatkan untuk formulasi berbagai produk.
Gumrosin has various important industrial applications. One of its primary uses is as a raw material to produce Turpentine Oil through a distillation process. Additionally, gumrosin is employed in the production of paints, adhesives, printing inks, and various other chemical products. Due to its sticky and water-resistant nature, gumrosin is also utilized in various coating and laminating formulations. Beyond industrial applications, gumrosin finds uses in the pharmaceutical and cosmetic fields, where its properties are harnessed for formulating a diverse range of products.
Minyak Terpentin cairan transparan dan mudah menguap yang diperoleh melalui destilasi uap gumrosin, dari pohon konifer seperti pinus. Proses destilasi ini memisahkan minyaki terpentin dari komponen-komponen lain dalam getah, menghasilkan cairan yang kaya akan senyawa-senyawa organik volatil, termasuk terpen dan terpentinol.
Minyak Terpentin memiliki aroma yang khas dan wangi, yang berasal dari senyawa-senyawa volatil yangterdapat di dalamnya. Aroma khas minyak terpentin sebagian besar berasal dari senyawa-senyawa yang disebut terpen, terutama α-pinen dan β-pinen, yang merupakan kelompok senyawa hidrokarbon tak jenuh. Senyawa-senyawa ini memberikan aroma segar dan tajam yang sering dianggap wangi. Terpen adalah kelompok senyawa organik yang umumnya ditemukan di alam, terutama dalam minyak esensial tanaman. Walaupun aroma dari minyak terpentin dapat dianggap wangi, minyak terpentin seharusnya tidak dihirup secara berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan dan berpotensi berbahaya. Penggunaan yang tepat dan tindakan keamanan diperlukan untuk menghindari paparan berlebihan terhadap senyawa-senyawa volatil ini.
Minyak Terpentin memiliki berbagai penggunaan dalam berbagai industri dan aplikasi. Beberapa penggunaan umumnya melibatkan sifat-sifat pelarut dan pembersih dari minyak terpentin. Penggunaan minyak terpentin sangat beragam seperti, sebagai pelarut dalam Cat Minyak, pelarut dalam Tinta Cetak, pelarut dalam Perekat, Pembersih dan Penghilang Noda Cat, Industri Karet, Produksi Lilin, dll.